Jalan Berliku Kaum Homo
Menuju Pelaminan
ADA dua cinta yang tumbuh dan bersemi di sebuah pondok nan asri di Desa Jadigan, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta. Cinta pertama tertambat kepada seekor anjing, yang oleh si empunya dinamakan "Cinta". Cinta kedua berlabuh di relung hati pasangan "suami-istri" William Johanes dan Philip Iswardono. Layaknya sejoli yang dimabuk cinta, bila senja tiba, keduanya kerap bercengkerama di gazebo yang terletak di pekarangan belakang rumah. Tentunya dengan ditemani "Cinta". "Kami hidup bahagia," kata Philip, yang ditimpali anggukan kepala oleh William. Laksana sebuah keluarga harmonis, kemesraan itu sebetulnya wajar adanya. Namun, kesan ini jadi nyeleneh dan aneh karena Wim dan Philip — demikian sapaan akrab keduanya — tak lain adalah pasangan sejenis atawa homoseksual. Wim, 59 tahun, pria tulen asal Belanda. Sedangkan Philip, 37 tahun, laki-laki kemayu asli Yogyakarta. Mereka agaknya menjadi pasangan hombreng pertama di Tanah Air yang melegalkan hubungannya lewat tali perkawinan. Walau pesta perkawinan sejenis telah digelar di Planet Pyramid, restoran ternama di Jalan Parangtritis, Yogyakarta, 6 September lalu, hingga pekan ini ceritanya masih jadi buah bibir di "kota gudeg" itu. Dalam resepsi yang cukup meriah itu, hadir sekitar 400 tamu undangan. Mereka kebanyakan rekan bisnis dan kenalan dekat kedua mempelai, serta teman sesama gay. Sedangkan dari sanak keluarga tak terlalu banyak yang hadir. Dari tujuh kakaknya, hanya lima orang yang sudi datang ke pesta perkawinan. Sisanya absen karena tak bisa menerima langkah si bungsu yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran Katolik, agama yang dianut keluarga sederhana ini. Bahkan Jasmani, kakak iparnya, yang diminta memberi sambutan mewakili keluarga, urung datang. Ia merasa tak punya rangkaian kata yang pas untuk disampaikan. "Aku suruh ngomong apa?" katanya. Adapun orangtua Philip, Tugiman Sastro dan Waringah, keduanya sudah meninggal. Kisah kasih pasangan gay ini cukup panjang dan berliku. Awal cerita bertepatan dengan keruntuhan rezim Soeharto. Kala itu, Mei 1998, Wim yang bekerja sebagai wartawan di NOS News Television, sebuah stasiun televisi swasta di Negeri Belanda, bertugas meliput aksi demo di Jakarta. Usai menunaikan tugasnya, Wim diajak koleganya,Vincent yang juga jurnalis, berkunjung ke Yogyakarta. Kebetulan, ketika itu ada Sekatenan di alun-alun Yogyakarta. Di tengah hiruk-pikuk pesta rakyat tahunan inilah kedua pasangan itu berkenalan. | |||||
Philip, yang mengaku mulai "meletek" — istilah bagi gay yang mulai terjun ke dunianya — sejak duduk di bangku sekolah menengah umum, langsung mengangguk ketika Wim mengajak kencan. Selama dua hari pasangan anyar ini pelesiran ke berbagai tempat wisata di kota gudeg. Namun, pertemuan itu belum mengarah serius. Hubungan di antara keduanya putus begitu saja kala Wim harus kembali ke tanah airnya. "Dunia gay itu dunia yang gonta-ganti pasangan. Jadi, ketika itu tidak saya follow up-i," kata lelaki yang sempat tiga tahun bekerja pada sebuah salon kecantikan di kawasan Cemorojajar, Yogya, ini. Pertautan keduanya kembali nyambung kala Wim datang lagi ke Indonesia untuk berlibur, pada tahun 2000. Itu pun lewat upaya pencarian cukup alot. Untuk bisa kembali menemukan Philip, Londo berkepala botak ini sempat menelusuri beberapa tempat mangkal gay di Yogya. Toh, semua gay yang ditemuinya dan ditanya tak satu pun yang kenal Philip. Rupanya naluri jurnalis Wim muncul. Lewat sohib Philip di Solo, Wim berhasil melacak keberadaan Philip. Dari sang sobat, Wim mendapatkan nomor ponsel Philip. Ketika itu, yang diuber sedang di Bali. Wim, yang sudah ngebet ingin melepas kangen, langsung menyusul. Kencan babak kedua pun berlangsung di Pulau Dewata selama sebulan. "Kami bisa menemukan kebahagiaan kembali," kata Wim. Sejak itulah hubungan mereka makin serius. Philip sempat melakukan kunjungan balasan ke Belanda, Februari 2001. Tiga bulan kemudian, Wim mulai berani menyambangi rumah Philip di Jedigan, sekaligus menyatakan akan menikahi Philip. Di sinilah, sebelum hasrat ini terwujud, jalan berliku harus dilewati keduanya. Selama penjajakan, Wim harus enam kali bolak balik Yogya-Belanda untuk mendapat restu dari keluarga. Terutama lampu hijau dari keluarga Philip yang kala itu menganggap perkawinan ini sebagai rencana tak waras. "Rapat pleno" keluarga digelar untuk menanggapi rencana si bungsu. Ternyata, walau Philip sudah melancarkan berbagai lobi, rapat memutuskan: menolak. "Bagaimanapun, saya menghendaki kamu kawin secara normal, dan punya keturunan lazimnya banyak orang," kata Suwarti, 47 tahun, menasihati adiknya, Philip, kala itu. Bahkan ancaman pun meluncur. Jika Philip tetap nekat, tak satu keluarga pun akan datang, baik ketika misa pemberkatan maupun syukuran. Maklum saja, hampir semua keluarga Philip adalah penggiat gereja yang tahu bahwa perkawinan sejenis ditentang ajaran agama mereka. Toh, ancaman itu tak membuat niat Philip jadi surut. "Kalau saya menuruti semua sedulur (saudara), keluarga besar akan bahagia. Namun, batin saya akan menderita karena tak sesuai dengan jiwa dan hati saya," kata "buceri" alias bule mencat sendiri, julukan untuk Philip karena mengecat rambutnya dengan warna merah, menimpali. Ia pun meneruskan langkahnya. Laksana calon manten pada umumnya, laki-laki beranting di kuping kanannya ini mengurus segala persyaratan administrasi perkawinan. Termasuk minta surat keterangan dari Kasihono, Kepala Dusun Karangjati. Lain Philip, lain pula Wim. Penulis cerita anak-anak ini lancar-lancar saja mendapat restu keluarga. Termasuk dari bekas istrinya. Alur cerita gay yang satu ini memang unik. Semula ia menjalani kehidupan sebagai lelaki biasa dengan orientasi seks hetero. Namun, setelah menikah, naluri gay-nya muncul. "Setelah punya anak pertama disusul dengan anak kedua, hasrat seks dengan laki-laki lebih tinggi ketimbang dengan perempuan," kata Wim. Tak lama kemudian, ia pun mengakhiri perkawinan pertamanya. Kalaupun ada ganjalan, itu terjadi ketika Wim dan Philip berbeda pendapat dalam memilih tempat bermukim selepas perkawinan. Masing-masing bersikukuh ingin tetap tinggal di negara asalnya. Akhirnya Wim mengalah. "Saya senang Belanda hanya untuk rekreasi," katanya. Kebetulan, masa kerjanya pun menjelang akhir. Wim pensiun per 1 September lalu. Setelah segala halangan teratasi, akhirnya Philip resmi dipersunting Wim pada 23 Juli lalu. Rangkaian acara pernikahan berlangsung khidmat sekitar satu setengah jam. Acara dimulai dengan kumpul bareng di rumah Wim di kota Leusden, Belanda, sebagai persiapan. Sekitar 30 orang hadir, termasuk dua anak Wim yang datang sambil menenteng kado berupa foto keluarga. Sedangkan Philip hanya ditemani sohibnya sesama gay, Tommy dan Deddy, yang juga bertindak sebagai saksi. Dari rumah Wim, selanjutnya rombongan berjalan kaki ke balai kota yang jaraknya hanya 400 meter. Di balai kota, mereka dinikahkan secara sipil oleh pejabat setempat, setelah sebelumnya saling memasukkan cincin sebagai bukti ikatan mereka. .
| |||||
Pakaian yang dikenakan kedua mempelai tak seperti pengantin umumnya. Keduanya rnenggunakan setelan jas. Philip menggunakan jas warna putih dan rompi dalam warna cokelat dengan dasi putih kotak-kotak. Sedangkan Wim mengenakan setelan jas warna hitam dengan rompi dalam warna merah emas serta dasi warna cokelat. "Ini gaun pilihan kami berdua," tutur Wim. Untuk cincin kawinnya, yang memesan adalah Philip di Yogyakarta. Beratnya Philip lupa. Hanya bentuk keduanya sama, yakni seperti dua cincin yang digandeng. Kata Phillip, bentuk itu sebagai simbol bahwa mereka yang berbeda telah dipersatukan dengan cinta. Sehari setelah perkawinan, para tamu undangan dijamu makan malam di Le Rendezvous Cafe di kota itu. Philip — bersama "suaminya", Wim — boleh jadi adalah pionir kaum homo di Indonesia yang melenggang ke perkawinan. Dan tak menutup kemungkinan bakal diikuti pasangan sejenis lainnya. Paling tidak, hasrat ini tersirat pada pasangan homo dr. Mamoto Gultom, 41 tahun, dan Hendy M. Sahertian, 30 tahun. Keduanya telah bertunangan pada 7 November 1999, bertepatan dengan berdirinya Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN), lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseksual. Hanya saja, pasangan pendiri sekaligus penggiat YPKN ini berharap, perkawinan yang diidamkan itu berlangsung di Tanah Air. Tak perlu susah payah terbang ke Belanda. "Saya berharap, pemerintah mau menerima pasangan seperti kami," kata Hendy. Suatu harapan yang tak mudah terwujud, mengingat hukum perkawinan Indonesia tak mengakui pernikahan sejenis. Kalaupun Mamoto dan Hendy berencana nikah di Belanda, berdasarkan informasi yang masuk ke telinga Hendy, jalannya bakal tak semulus jejak Wim dan Philip. Soalnya, satu di antara seabrek persyaratannya adalah perkawinan bisa berlangsung asalkan salah seorang calon mempelai telah bermukim di Belanda sekurang-kurangnya satu tahun. "Kami masih pikir-pikir untuk sampai ke arah sana," kata Hendy. | |||||
Saat ini, pasangan yang pertama kali bertemu di sebuah diskotek di kawasan Jakarta Pusat ini cukup enjoy hidup bersama di sebuah rumah di Jatibening Estate, Pondok Gede, Bekasi. Di rumah sekaligus markas YPKN inilah kehidupan Mamoto dan Hendy berlangsung bak pasangan suami-istri. Gelak tawa dan keceriaan sesekali dibumbui pertengkaran. Bahkan pernah percekcokan ini berujung "perpisahan". Penyebabnya, ada orang ketiga di antara mereka. Kala itu, masing-masing kembali ke rumah keluarganya. Namun, kejadian itu tak berlangsung lama. "Saat bepisah, kami tersiksa," kata Hendy, yang sejak usia tiga bulan hidup terpisah dari orangtuanya, Maxie Sahertian dan Juliatje Corrie Anneke, yang bercerai. Mereka kembali hidup bersama setelah mendengar petuah Dr. Dede Oetomo, "presiden" Gaya Indonesia, yang telah 18 tahun mengarungi hidup bersama dengan pasangan homonya. "Tahun kedua sampai ketiga itu masa penyesuaianlah. Kalau bisa melewatinya, maka bisa selamat," bungsu dari tiga bersaudara itu menirukan ucapan Dede, kepada Hatim Ilwan dari GATRA. | |||||
Sebetulnya, ujian terberat pasangan ini terjadi kala Mamoto memperkenalkan Hendy sebagai tunangan kepada keluarganya di kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Acara perkenalan itu memang direncanakan. Ini terlihat dengan hadirnya harnpir semua sanak keluarga Mamoto. Kala itu, tak lama setelah mereka bertunangan, "bujang lapuk" ini memaparkan pilihan pasangan hidupnya. Di akhir pembicaraan, ia langsung menunjuk Hendy sebagai dambaan hati yang dimaksud. Kontan saja seisi rumah jadi heboh. Mereka terlibat percekcokan dalam bahasa Batak. Kericuhan itu memancing emosi Mamoto hingga mengamuk dan pingsan. Setelah siuman, ia langsung mengepaki pakaiannya ke dalam koper. Seperti orang linglung, ia meninggalkan pertemuan, terus berjalan kaki sambil menyeret kopernya yang besar. Sementara Hendy dengan setia terus mengikutinya. Langkah Mamoto baru berakhir di bundaran Hotel Indonesia. Tak sepatah kata pun meluncur dari keduanya. Mamoto hanya bisa tertunduk, sejurus kemudian menangis sejadi-jadinya. Kejadian serupa terulang dua hari berselang, bahkan lebih seru. Kali ini sanak saudara Mamoto dari Tarutung, Sumatera Utara, pada berdatangan. Setelah pingsan dan kembali berjalan tak keruan, Mamoto akhirnya memilih ngumpet di rumah seorang temannya. Selama dalam pelarian, kegiatan sehari-hari mereka tak terganggu. Mamoto tetap berangkat ke kantornya untuk jadi dokter pada sebuah program yang berlabel Aksi Stop AIDS, di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur. Sedangkan Hendy terus giat mengomandani YPKN yang memiliki 13 staf. Permasalahan keluarga itu ternyata tak berlangsung lama. Entah bagaimana cara Mamoto mencairkan sikap sanak saudaranya. Kini, mereka hidup tenteram bersama, tanpa ada gugatan lagi dari keluarga. Sebagai orang yang lebih tua, Mamoto disepakati sebagai kepala rumah tangga, mendampingi Hendy yang sejak duduk di bangku sekolah dasar kerap diolok-oloki bencong itu. Keduanya tetap memburu angan, yakni melegalkan hubungannya lewat perkawinan. Seperti telah direngkuh pasangan Wim dan Philip. Perkawinan Wim dan Philip bisa saja jadi bentuk keberanian kaum homo dalam mengekspresikan diri. Namun, Dede Oetomo, pentolan Yayasan Gaya Nusantara, tak setuju kalau langkah itu dianggap sebagai babak baru perjuangan gay di Indonesia secara keseluruhan. "Itu belum merupakan gerakan terstruktur," kata sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, ini. Di mata Dede, "perjuangan" gay mengenal beberapa tahapan. Fase pertama awal 1980-an, ketika kaum homo berani menggulirkan wacana keberadaannya, walau secara fisik mereka masih ngumpet. Kemudian fase akhir 1980-an, unjuk diri mereka makin kentara seiring dengan kampanye bahaya penyakit AIDS. Lantas tahap setelah reformasi, kaum penyuka sejenis ini mulai memasuki wilayah politik. Fase ini ditandai dengan isu yang digelindingkan Partai Rakyat Demokratik bahwa kepentingan kaum gay perlu terwadahi di legislatif. Kini, sebuah gerakan bisa dikatakan baru, kata Dede, "Kalau sifatnya mendobrak regulasi." Tentunya, gerakan ini tak gampang bergulir. Mengingat betapa tebalnya tembok yang melindungi hukum perkawinan di Indonesia. Menurut Sri Nyantosani, SH, SU, pakar hukum perkawinan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, perkawinan sejenis di Indonesia jelas tak dierbolehkan dan tidak sah. Sebab, syarat materiil perkawinan harus beda jenis kelaminnya, yakni laki-laki dan perempuan. Walau begitu, menurut pengajar di Pascasarjana Notarial UGM itu, bagi pasangan homo yang menikah di luar negeri, seperti pasangan Wim-Philip, secara hukum perkawinan mereka jadi sah. Dasar hukumnya, kata Sri, karena setiap negara — termasuk Indonesia — mengakui hukum yang berlaku di negara lain. Termasuk mengakui legalitas perkawinan seperti yang diatur dalam hukum Belanda. Dr. Ismet Yusuf, psikiater lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, sepakat bahwa perkawinan Wim-Philip tak bakal memicu keberanian kaum homo lainnya dalam unjuk diri. Sebab, katanya, kebanyakan dari mereka malu menunjukkan ke-gay-annya di muka umum. "Ada semacam kebimbangan dalam diri mereka," kata peneliti hubungan sejenis warok-gemblak ini kepada Syamsul Hidayat dari GATRA. Atas alasan ini pula, menurut Ismet, sebetulnya jumlah kaum homo yang "menikah" diam-diam jauh lebih banyak ketimbang yang terang-terangan mendapat legalitas. Sikap pemalu ini tercermin dari belum beraninya semua gay menyatakan diri sebagai kaum gay. Memang hasil survei YPKN menunjukkan, ada 4.000 hingga 5.000 penyuka sesama jenis di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Angka-angka itu belum termasuk kaum homo di kota-kota besar. Dede memperkirakan, secara nasional jumlahnya mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Kalau asumsi Dede benar, tentunya itu sebuah angka yang membelalakkan mata. Gatra, 4 Oktober 2003, halaman 26 - 30 copy: http://asia.geocities.com |
No comments:
Post a Comment